top of page
  • Gambar penulisEditor

Indonesia Berpotensi Jadi Pemain Besar di Industri Electric Vehicle Global

Topik utama diskusi virtual yang digelar ILUNI UI dalam Forum Diskusi Salemba 66 pada Sabtu, 20 November 2021 lalu

Foto ilustrasi: Presiden Joko Widodo memberikan perhatian besar pada kendaraan listrik saat meninjau pameran Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS) 2021 pada Rabu, 17 November 2021 (BPMI Setpres/Lukas)


OTOPLUS-ONLINE I Melihat kondisi geografis Indonesia yang kaya akan sumber daya alam terutama sekali kandungan biji nikel yang cukup besar yang menjadi bahan baku dari pembuatan baterai kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV).


Hal ini membuat Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi pemain global di industri kendaraan listrik atau EV karena memiliki kemampuan sumber daya terintegrasi dari hulu ke hilir.

Webinar Industri Baterai dalam Negeri dan Potensi Percepatan Transformasi Teknologi Kendaraan Berbasis Electric Vehicle di Indonesia oleh Ikatan Alumni UI (ILUNI UI) dalam Forum Diskusi Salemba 66 pada Sabtu, 20 November 2021 lalu


Hal inilah yang menjadi topik utama dalam diskusi virtual yang digelar oleh Ikatan Alumni UI (ILUNI UI) dalam Forum Diskusi Salemba 66 pada Sabtu, 20 November 2021 lalu dengan tema “Webinar Industri Baterai dalam Negeri dan Potensi Percepatan Transformasi Teknologi Kendaraan Berbasis Electric Vehicle di Indonesia”.


Forum Diskusi ini menghadirkan para alumni UI yang terlibat dalam industri kendaraan listrik, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho, Pengamat Ekonomi FEB UI Toto Pranoto, Director/External Affairs Team Hyundai Motor Asia Pacific Headquarters Tri Wahono Brotosanjoyo dan Pembalap Nasional dan Pemerhati mobil listrik Fitra Eri.


Ketua Umum ILUNI UI Andre Rahadian saat membuka diskusi menekankan pentingnya Indonesia berperan dalam ekosistem industri Electric Vehicle. Apalagi, melihat peran Indonesia setelah mengikuti COP26 dan Presidensi G-20. Banyak yang bisa dilakukan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya yang banyak, tapi juga pengimpor bensin.



“Sehingga, menurut kami sangat penting terciptanya satu ekosistem untuk membangun dan berhasilnya EV di Indonesia,” ujar Andre dalam sambutannya.


Indonesia Battery Corporation (IBC) adalah salah satu produsen yang saat ini sudah membuat road map, karena butuh 4-5 tahun untuk bisa memproduksi baterai.


Ada beberapa hal yang akan dilakukan. Di tahap awal adalah mendorong pasar 4 roda, selanjutnya 2 roda. Karena itu IBC bekerjasama dengan mitra konsorsium yakni LG Group dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL) dari China.



“Investasi yang kita keluarkan hampir USD 15,4 miliar dan membutuhkan waktu 3 hingga 4 tahun untuk membangun industrinya. Keuntungan kita adalah semua sudah terintegrasi jadi satu di Indonesia. Hanya nilai komersialnya yang harus dikejar yang paling optimal dan paling baik untuk Indonesia,” kata Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho.

Dari sudut pandang ekonomi, pengamat ekonomi UI Toto Pranoto mengatakan, masyarakat global sudah mulai beralih ke EV. Dia mencatat secara global data penjualan EV naik 43 % di tahun 2020 dengan penjualan hingga 3,2 juta unit.


Banyak pabrikan dunia sudah menargetkan akan segera masuk ke pasar EV. Norwegia bahkan sudah menargetkan tahun 2025 negaranya sudah 100 persen menggunakan EV.



Problemnya di Indonesia, lanjut Pranoto adalah bagaimana kita bisa mengembangkan manufaktur nasional sehingga bisa mendorong industri yang menghasilkan produk yang atraktif bagi konsumen dan harga yang kompetitif dengan produk asing.


Selain itu, dukungan insentif dari pemerintah juga penting, soal pemotongan pajak kendaraan, atau insentif non materiil seperti pengecualian nomor ganjil-genap bagi EV.


“Dengan harga yang kompetitif dan dukungan kemudahan lainnya, menjadikan minat masyarakat untuk membelinya akan lebih baik,” kata Pranoto.



Direktur Hyundai Tri Wahono menyambung, masyarakat butuh diedukasi lebih dalam soal EV agar tidak ada resistensi. Bagaimana dampak penggunaan EV terhadap lingkungan dan ekonomi nasional. Hal ini mengingat negara-negara di Asia Tenggara belum ada yang bergerak.


“Kita jadi punya kesempatan untuk menjadi pioner, menjadi pemain utama yang memiliki supply chain yang kuat dari hulu ke hilir,” tegas Tri.


Penggunaan EV menurut Toto sangat banyak manfaatnya bagi lingkungan hidup dan juga ekonomi. Dia menjelaskan manfaat untuk lingkungan misalnya hanya dengan konversi 30% saja dari BBM ke EV kita bisa mengurangi impor BBM secara signifikan hampir Rp 2-3 miliar setahun.



“Kita harus segera beralih ke EV danmenggunakan baterai EV yang kita produksi sendiri. Baterai produksi nasional dapat bertahan 8 tahun bisa didaur ulang 80% ,” jelas Toto.


Meski begitu, isu lingkungan belum cukup untuk menjadi poin utama konsumen untuk beralih ke EV. Menurut pembalap Fitra Eri, value yang ada saat ini belum bisa menggoda orang Indonesia untuk membeli.


Pasalnya, konsumen umumnya tidak terlalu pusing soal isu lingkungan, bagi mereka nilai ekonomisnya justru menjadi yang utama.



“Mobil listrik harganya masih di atas Rp1 miliar. Mahal. Konsumen beli mobil listrik bukan karena sadar lingkungan, tapi penasaran, layak enggak sih pindah ke mobil listrik. Ujung-ujungnya perhitungan ekonomi,” kata Fitra.

Jajaran mobil listrik yang dipamerkan di GIIAS 2021


Jika dibandingkan dengan Norwegia dimana 9 dari 10 kendaraan yang beredar di sana adalah EV, kita masih sangat jauh. Pemerintah negara itu membuat harga mobil EV tidak berbeda jauh dengan mobil bermesin pembakaran dalam.


Bahkan kendaraan yang bukan EV akan dikenakan pajak yang lebih mahal. Jadi di Indonesia, mobil listrik harus ekonomis, dan diperkuat regulasi pemerintah dengan banyak insentif serta infrastruktur juga penting agar bisa dipakai keluar kota.


Teks: dJansen

Foto: ILUNI UI, Nugroho Sakri Y.

bottom of page